Selasa, 22 Januari 2013

Kaidah Fiqih: Sesuatu Hukum Menjadi Sah dan Sempurna Jika Terpenuhi Syarat dan Rukunnya Serta Tidak Ada Penghalangnya



Sebagaimana telah dimaklumi, masalah fiqih terus berkembang sejalan dengan berjalannya waktu dan timbul berbagai permasalahan baru yang dialami umat. Para ulama telah berjuang dan bekerja keras dengan memperhatikan berbagai dalil-dalil wahyu dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga bisa merumuskan berbagai kaidah untuk bisa digunakan sepanjang masa, sampaipun terhadap masalah-masalah yang belum pernah ada wujudnya pada zaman turunnya wahyu. Dari sini diketahuilah betapa pentingnya ilmu qowa’id fiqhiyyah ini. Imam al-Qorrofi berkata, “Barang siapa yang menguasai fiqih lewat penguasaan kaidah-kaidahnya, maka dia tidak butuh untuk menghafal semua permasalahannya satu persatu karena sudah tercakup dalam keumuman kaidah tersebut.” [*]

Pada kesempatan ini akan dibahas sebuah kaidah fiqih yang cukup penting untuk dipahami dimana kaidah ini berhubungan dengan sempurnanya hukum akidah dan amal perbuatan. Kaidah ini berbunyi:

الأَحْكَامُ العِلْمِيَّهُ وَ الْعَمَلِيَّهُ لاَ تَتِمُّ إِلاَّ بِأَمْرَيْنِ وُجُودُ شُرُوطِهَا وَ أَرْكَانِهَا وَ انْتِفَاءُ مَوَانِعِهَا

“Semua hukum ilmu dan amal tidak sempurna kecuali dengan dua perkara: terpenuhi syarat dan rukunnya, serta tidak ada penghalangnya.”

Penjelasan

العِلْمِيَّهُ (al-

ilmiah) adalah hukum yang tidak berhubungan dengan amal perbuatan, yang biasa disebut oleh para ulama dengan hukum yang berhubungan dengan akidah.

الْعَمَلِيَّهُ (al-amaliah) adalah hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan, baik perbuatan lisan maupun anggota badan lainnya, juga baik yang berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala saja misalnya shalat, puasa dan lainnya, maupun yang berhubungan dengan sesama, misalnya hukum jual beli, sewa menyewa, pernikahan perceraian, jihad dan lainnya.

شُرُوطُهَا (syarat) dalam istilah para ulama adalah sesuatu yang harus ada untuk sahnya sesuatu yang lain dan dia bukan merupakan hakikat dari sesuatu tersebut.

Contoh: bersuci adalah syarat shalat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah tidak menerima shalat seseorang tanpa bersuci.” (HR. Muslim)

Maka seseorang yang mengerjakan shalat harus dalam keadaaan bersuci, karena kalau tidak maka shalatnya tidak sah, dan bersuci itu sendiri bukan merupakan hakikat shalat, karena hakikat shalat adalah ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan niat beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

أَرْكَانهَا (rukun) adalah sesuatu yang harus ada untuk sahnya sesuatu yang lain dan dia merupakan salah satu hakikat dari sesuatu tersebut.

Contoh: sujud adalah rukun shalat, maka seseorang yang shalat harus mengerjakan sujud, kalau tidak sujud maka shalatnya tidak sah, sedangkan sujud itu sendiri merupakan bagian dari hakikat shalat karena dia adalah salah satu perbuatan antara takbir dan salam.

مَوَانِعِهَا (penghalang) adalah sesuatu yang apabila terdapat pada sesuatu maka bisa mencegah atau menghalangi sahnya sesuatu tersebut.

Contoh: haid adalah penghalang wanita dari mengerjakan puasa, maka kalau seseorang sedang puasa lalu keluar darah haid maka puasanya tidak sah karena adanya penghalang tersebut.

Jadi makna kaidah ini adalah semua hukum baik yang berhubungan dengan masalah ilmiah maupun amaliah tidak sah dan tidak sempurna kecuali apabila terpenuhi semua syarat dan rukunnya serta tidak terdapat penghalangnya, yang ini berarti kalau salah satu syarat dan rukun dari hukum tersebut tidak terpenuhi atau terdapat salah satu penghalangnya, maka sesuatu tersebut dihukumi tidak sah dan tidak sempurna.

Kedudukan Kaidah Ini

Ini adalah sebuah kaidah yang sangat besar dan banyak manfaatnya. Dengannya akan terjawab banyak permasalahan yang dirumitkan oleh sebagian kalangan.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Ini adalah sebuah kaidah besar yang mencakup semua hukum baik masalah ilmiah maupun amaliah.” (al-Qawa’id wa Ushul Jami’ah hal 33)

Contoh Penerapan Kaidah dalam Masalah Ilmiah

Contoh Pertama

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan la ilaaha illallah maka dia akan masuk surga.” (ash-Shahihah 1135)

Banyak orang yang memahami bahwa hadits ini menunjukan bahwa semua orang yang pernah mengucapkan kalimat tauhid ini maka dia akan masuk surga. Benarkah demikian secara mutlak?

Jawabnya: tidak mesti, karena yang disampaikan oleh Rasulullah dalam hadits ini adalah sebuah hukum yang tidak akan terpenuhi dan sempurna kecuali dengan sempurnanya syarat dan rukunnya serta tidak ada penghalang.

Sedangkan rukun la ilaaha illallah adalah menafikan dan menetapkan yaitu menafikan semua sesembahan dan hanya menetapkannya kepada Allah saja.

Sedangkan syaratnya ada tujuh macam yang tergabung dalam bait berikut ini:

علم يقين اخلاص وصدقك مع

محبة وانقياد والقبول لها

وزيد ثامنها الكفران منك بِمَا

سِوَى الإله من الأوثان قد ألها

Ilmu, yakin, ikhlas dan jujur

cinta, tunduk dan menerima

yang ke delapan ditambah kufur dengan

semua sesembahan selain Allah

Maka orang yang mengucapkan la ilaaha illallah namun masih menyembah juga kepada yang lainnya, maka tauhidnya tidak sah. Begitu juga bagi yang tidak memenuhi salah satu syaratnya seperti dia tidak meyakini atau tidak menerima dengan sepenuh hati atau syarat lainnya, maka tauhidnya juga tidak sah dan sempurna.

Contoh Kedua

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberi makan dengan riba, penulis akad riba dan kedua saksinya. Mereka semua sama.” (HR. Muslim)

Lalu muncul pertanyaan, apakah semua orang yang pernah melakukan transaksi riba akan terlaknat sebagaimana temaktub dalam hadits mulia ini?

Jawabnya: tidak, karena kandungan hadits ini adalah sebuah hukum ilmiah dan itu butuh terpenuhi syarat rukun dan hilang penghalangnya.

Maka orang yang makan harta riba, berfatwa bolehnya riba atau menjadi saksi riba bisa saja tidak terkena laknat apabila ada penghalangnya, semisal dia jahil (tidak mengetahui keharamannya) atau dia mu’awwil (menta’wil dan menganggap bahwa itu bukan riba) atau dia telah bertaubat atau amal shalih dia lebih banyak dari pada dosa ribanya atau penghalang lainnya.

Contoh Ketiga

Allah berfirman: “Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan.’” (QS. Al-Mu’min: 60)

Ada sebagian kalangan yang merumitkan ayat ini dengan mengatakan, “Dalam ayat ini Allah berjanji akan mengabulkan orang yang berdoa kepada-Nya, namun betapa banyak doa yang tidak terkabulkan?”

Maka jawabannya: yang terdapat dalam ayat ini adalah sebuah janji dari Allah dan itu tidak akan terpenuhi kecuali kalau terpenuhi syarat rukun dan hilang penghalangnya. Maka sangat bisa jadi sebuah doa tidak terkabulkan karena ada penghalangnya seperti orang yang berdoa tersebut makan dan minum dari harta yang haram. Perhatikanlah hadits dari Abu Hurairah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan hanya menerima yang baik-baik saja.’”

Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kaum mukminin sebagaimana Allah memerintahkan para Rasul, “Wahai para Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun: 51)

Allah juga berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 172)

Kemudian Rasulullah menyebutkan kisah seorang laki-laki yang berambut kusut penuh debu, menengadahkan tangannya ke langit sambil berkata, “Ya Rabbi, Ya Rabbi.” Namun makanannya haram. Minumannya haram dan tumbuh dari makanan yang haram, bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan? (HR. Muslim 1015, Tirmidzi 2989, ad-Darimi 2817)

Contoh Penerapan Kaidah Dalam Masalah Amaliah

Contoh Dalam Hal Ibadah

Orang yang mengerjakan shalat, namun dia tidak menutup aurat, maka shalatnya tidak sah karena tidak terpenuhi salah satu syaratnya. Rasulullah bersabda, “Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah baligh kecuali dengan penutup kepala.” (HR. Abu Dawud 628, Tirmidzi 375 dan lainnya dengan sanad shahih)

Wanita yang niat puasa, tidak makan, minum dan jima’ dari mulai terbit fajar sampai terbenam matahari, namun tengah hari keluar darah nifas, maka puasanya batal karena terdapat salah satu penghalangnya. Dan ini dengan kesepakatan para ulama karena hukum nifas dalam masalah ini sama dengan haid.

Orang yang berangkat haji namun tidak wukuf di padang Arafah, maka hajinya batal karena tidak terdapat salah satu rukunnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Haji itu wukuf di Arafah.” (HR. Bukhari Muslim)

Contoh Dalam Hal Muamalah

Orang yang bertransaksi akan mengadakan akad jual beli, namun ternyata barang yang dijual tidak ada, maka jual beli tersebut tidak sah karena tidak ada salah satu rukunnya.

Ada orang yang menyewakan rumah dengan harga satu juta pertahun, namun rumah itu bukan rumahnya sendiri dan juga dia bukan orang yang diberi wewenang oleh yang punya, maka meskipun ada yang menyepakati transaksi itu, maka sewa menyewa itu tetap batal karena tidak terdapat salah satu syarat sewa menyewa yaitu barang yang disewakan milik dia sendiri atau dia mewakili empunya.

Seorang muslim wafat meninggalkan anak kafir, maka meskipun dia anak kandungnya sendiri, namun tidak mendapatkan warisan karena ada penghalangnya yaitu kekafiran si anak. Berdasarkan hadits dari Usamah bin Zaid berkata Rasulullah bersabda, “Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, begitu juga orang kafir tidak mewarisi orang muslim.” (HR. Bukhari Muslim)

Wallahu a’lam.

***

[*] Al-Furuq al-Qorrofi 2/115. Lihat http://ahmadsabiq.com/2009/10/30/studi-kaidah-kaidah-fiqh

Sumber:

Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Majalah al-Furqon Edisi 10 th VII 1429H/2008M makalah Kaidah Fiqih

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Komentar, Kritik dan Saran Anda Disini !!! Ini Blog DOFOLLOW Tapi NO SPAM ya?